<$BlogRSDUrl$>

Friday, June 25, 2004

Marah 

Dapatkah dendam, sakit hati, perasaan marah, kebencian, iri hati, keserakahan, rasa takut, dan sebagainya dapat lenyap dari batin, dengan jalan melarikan diri dari semua itu atau dengan jalan menekannya? Hal ini penting sekali bagi kita untuk menyelidikinya dan mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap hari tentu ada saja satu di antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita. Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu itu dengan daya upaya kita?

Dari mana timbulnya nafsu-nafsu seperti dendam, kebencian, marah, iri, serakah, takut dan sebagainya itu? Semua itu timbul dari adanya pikiran yang membentuk si aku dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir maupun batin, maka timbullah kemarahan, kebencian dan sebagainya. Karena si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah keserakahan, iri hati dan sebagainya.

Setelah muncul kemarahan, dari pengalaman atau dari penuturan orang lain, si aku melihat bahwa kemarahan itu tidak akan menguntungkan. Maka timbullah keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk melenyapkan kemarahan! Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan itu masih yang itu-itu juga, masih si aku yang ingin senang karena ingin bebas dari kemarahan itupun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang, menganggap bahwa bebas marah itu senang atau menyenangkan! Jadi, si marah adalah aku sendiri, dia yang ingin bebas marahpun aku sendiri. Bermacam daya upaya dilakukannya oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan sebagainya. Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur diri, minum arak sampai mabuk, bersenang-senang sampai mabuk atau mengasingkan diri di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala macam daya upaya dilakukan orang untuk membebaskan diri daripada kenyataan, yaitu amarah itu.

Bagaimana hasilnya? Memang nampaknya berhasil, nampak dari luar memang berhasil. Yang marah itu tidak marah lagi oleh penekanan kemauan atau oleh hiburan. Akan tetapi, tak mungkin melenyapkan penyakit dengan hanya menggosok-gosok agar nyerinya berkurang atau lenyap. Karena penyakitnya masih ada, maka rasa nyeri itupun tentu akan timbul kembali! Demikian pula dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya. Memang dengan penekanan atau hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api kemarahan itu seolah-olah sudah padam. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak nampak bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Karena itulah, tercipta lingkaran setan pada diri kita. Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan seterusnya selama kita hidup!

Mengapa kita tidak hadapi secara langsung segala yang timbul itu? Di waktu timbul marah, timbul benci, timbul iri, timbul takut dan sebagainya. Mengapa, kita lari? Mengapa kita tidak menanggulanginya secara langsung, mengamatinya, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung? Mengapa kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran akan semua itu? Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspdaan, mengamatinya tanpa ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan sebagainya seperti itu, kalau yang ada hanya kewaspdaan saja, pengamatan saja, maka apakah akan terjadi dengan kemarahan yang timbul itu? Cobalah! Segala pengertian itu tanpa guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian berarti penghayatan! Tanpa penghayatan maka pengertian itu hanya menjadi pengetahuan kosong belaka, hanya akan menjadi teori-teori usang yang pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk untuk hiasan belaka, tidak ada manfaatnya bagi kehidupan. Nah, kalau ada timbul marah, benci, takut dan sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran.

Kemarahan dan dendam timbul karena adanya sang pikiran, si aku yang tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada si aku yang merasa dirugikan, apakah ada kemarahan itu? Hanya pengamatan dengan penuh kewaspadaan yang akan mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula, melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika

Dan pengertian dari pengamatan ini yang akan meniadakan marah atau dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam mendekatkan kita kepada kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak perlu lagi belajar sabar!


|

Wednesday, June 23, 2004

Contemplation 

“Kata-kata bijasana tidak berbunga kata-kata berbunga tidak bijaksana, sang budiman tidak melawan yang melawan tidak budiman, sang arif bijaksana tidak terpelajar yang terpelajar tidak arif bijaksana!”

“Kata-kata yang baik dan dapat di­percaya kebenarannya tidak bersifat membujuk dan merayu melainkan jujur dan sederhana, dan kata-kata yang membujuk dan merayu, yang halus memikat, sama sekali tak dapat dipercaya kebenarannya.”

“Yang melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan kekerasan, maka hidupnya akan penuh dengan pertentangan dan permusuhan, maka tentu saja orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang budiman tahu bahwa kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan kesengsaraan.”

"Keadaan terpelajar berarti menyimpan pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan mengandal­kan segala sesuatu yang dihafal belaka tidak membuat orang menjadi arif dan bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari pengetahuan, dan hanya orang yang batinnya kosong dari pengetahuan saja yang dapat mempelajari segala sesuatu yang baru dan karenanya arif bijaksana."

|

Thursday, June 17, 2004

Nafsu Keinginan 

Memang demikianlah kehidupan manu­sia di dunia ini. Seperti berputarnya bumi, seperti beredarnya matahari, se­bentar terang sebentar gelap. Hidup ini nampaknya seolah-olah begitu penuh de­ngan penderitaan, kekecewaan, penyesal­an, kesengsaraan yang tumpang-tindih. Ada kadang-kadang datang suka ria, akan tetapi hanya seperti selingan kilat di waktu hujan gelap saja. Manusia hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya. Semua hal yang dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-macam, bahkan yang kadang-kadang dalam pengejaran itu tidak sungkan-sungkan untuk memperebutkan dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan orang lain, mencelakainya, bahkan membunuhnya, setelah terdapat ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang diharapkan atau dibayangkannya semula! Si miskin membayangkan bahwa kalau dia memiliki harta banyak, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun si kaya tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat kecil membayangkan bahwa kalau dia memiliki kedudukan tinggi, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun para pembesar tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat kedudukannya, bahkan sebaliknya, kebanyakan dari mereka menderita banyak kepusingan karena kedudukannya yang tinggi! Si orang awam ingin terkenal, akan tetapi mereka yang terkenal merasa terganggu hidupnya oleh ketenarannya! Demikianlah, manusia akan selalu sengsara dan tidak bahagia hidupnya selama dia diburu oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya. Dan keinginan ini akan terus mengejarnya sampai liang kubur sekalipun, tak pernah terpuaskan karena keinginan itu merupakan penyakit yang akan terus mendorongnya mengejar sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan yang baru, karena yang baru itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan. Kita lupa sama sekali bahwa yang baru ini akan menjadi lapuk dan kita akan terus mencari yang lebih baru lagi! Menuruti keinginan takkan ada habisnya, dan tidaklah mungkin bagi kita untuk memiliki segala-galanya di alam mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan lain kata-kata, hanya orang yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu benar-benar seorang kaya raya lahir batin! Tidak menginginkan apa-apa ini dalam arti kata tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, ti­dak menghendaki sesuatu yang tak ter­jangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu, bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan menjadi seperti patung hidup.


|

Wednesday, June 16, 2004

Keinginan 

Manusia sejak kecil telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah, semenjak kecil manusia tanpa disadari telah terdidik untuk tidak menghargai apa yang telah dimilikinya dan matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang “lebih” lagi. Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum ada dan yang dimilikinya ini merupakan pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apapun demi memperoleh yang diidam-idamkannya.

Kenikmatan yang pernah dirasakan itu dikunyah-kunyah, terbayang semakin nikmat dan timbullah keinginan untuk mengalami kembali yang membuat kita mengejar-ngejar hal yang merupakan bayangan kesenangan hebat itu. Pikiran adalah sumber segala macam nafsu keinginan, hal ini dapat dilihat dengan jelas. Pikiran yang membayangkan kembali hal-hal yang lalu, mengenang kembali hal-hal yang menyenangkan, dan pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, dibayangkan sebagai sesuatu yang amat hebat dan nikmat dan menyenangkan. Pikiran menimbulkan nafsu-nafsu. Pikiran pula yang membanding-banding, menimbulkan perasan iri. Pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal buruk yang mungkin menimpa kita, menimbulkan rasa takut. Dapatkah kita bebas daripada pikiran yang mengenang-ngenang itu? Bukan berarti kita tidak harus mempergunakan pikiran. Pikiran mutlak perlu bagi kehidupan kita akan tetapi pada tempatnya yang benar, dalam melakukan pekerjaan dan sebagainya. Namun, sekali kita membiarkan pikiran mengenang-ngenang, membanding-banding, memasuki hati, merajuk urusan batin, maka akan terjadilah kekacauan dan akan bangkitlah segala nafsu-nafsu yang menguasai semua tindakan kita.

|

Keinginan 

Manusia sejak kecil telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah, semenjak kecil manusia tanpa disadari telah terdidik untuk tidak menghargai apa yang telah dimilikinya dan matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang “lebih” lagi. Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum ada dan yang dimilikinya ini merupakan pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apapun demi memperoleh yang diidam-idamkannya.


|

Keinginan 

Manusia sejak kecil telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah, semenjak kecil manusia tanpa disadari telah terdidik untuk tidak menghargai apa yang telah dimilikinya dan matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang “lebih” lagi. Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum ada dan yang dimilikinya ini merupakan pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apapun demi memperoleh yang diidam-idamkannya.


|

Tuesday, June 15, 2004

Kemarahan  

Sungguh patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya memperoleh petunjuk-petunjuk saja, bagaimana untuk dapat menjadi seorang yang baik, yang benar, yang sabar dan sebagainya. Seolah-olah kebaikan itu dapat dipelajari! Seolah-olah kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seolah-olah kesabaran itu dapat dibuat!

Biasanya, kalau kita mendendam, kalau kita membenci, kalau kita marah, kita dinasihati untuk bersabar. Kita dinasihati untuk mengendalikan diri, mengendalikan kemarahan itu, menekannya dengan ke­sabaran, dengan mengingat bahwa ke­marahan itu tidak baik, kesabaran itu baik dan sebagainya. Kita diajar un­tuk menjauhi kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti menjauhi penyakit, dan kita dipaksa untuk berpaling kepada kesabaran, cinta kasih antara sesama, kebaikan dan sebagainya.

Semua ini membuat kita seperti sekarang ini, penuh dengan teori-teori tentang kebajikan, ke­baikan, teori-teori kosong yang sama sekali tidak kita hayati dalam kehidupan, karena penghayatan dalam kehidupan melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan belaka, dan setiap bentuk peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam tindak­an itu karena di balik itu sudah pasti mengandung pamrih. Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang baik se­hingga kita selalu ingin disebut baik, kita mempunyai anggapan baik itu searah dengan senang, atau baik itu mendatang­kan senang di hati.

Maka “perbuatan baik” yang kita lakukan itu, jika kita mau membuka mata mengenal diri sen­diri, bukan lain hanyalah merupakan suatu daya upaya atau jembatan bagi kita un­tuk memperoleh hasil yang menyenangkan itu tadi saja. Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dari perbuatan baik, dan hasil yang menyenangkan itu bisa saja berupa kesenangan bagi lahir maupun batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun karena pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka kita selalu berbuat baik dengan harapan agar memperoleh buah dari perbuatan itu yang tentu saja akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir batin.

Bisa saja kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap per­buatan yang kita anggap sebagai perbuat­an kebaikan, yang kita lakukan dengan unsur kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung pamrih, biar pamrih itu bersembunyi di bawah sadar sekalipun! Maka, yang penting adalah mengenal apakah perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan mengenal tindakan-tindakan palsu dan tidak baik itu, kita mengenal dan sudah mengalami betapa nafsu-nafsu seperti marah, benci, dendam, iri, sera­kah itu mendatangkan hal-hal yang amat buruk.

Untuk dapat terbebas daripada dendam, bukanlah hanya sekedar belajar sabar! Memang, dengan kesabaran atau mengendalian diri, kemarahan dapat saja berhenti, nampaknya lenyap dan padam, akan tetapi sesungguhnya, api kemarahan itu masih belum padam, hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut ajaran-ajaran itu tadi. Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan berkobar lagi, mungkin lebih hebat, untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh kesabaran, dan lain kali berkobar lagi, ditutup lagi, maka kita pun terseret ke dalam lingkaran setan seperti keadaan hidup kita sekarang ini!

Mengapa kita harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci datang? Mengapa kita harus menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran untuk melarikan diri dari kemarahan? Mengapa kita tidak berani menghadapi kenyataan itu bahwa kita marah? Mari kita mencoba untuk menghadapinya, setiap kali kemarahan timbul, setiap kali kebencian, iri hati, dan sebagainya datang ke dalam batin kita.

Kita hadapi semua itu, kita amati, kita pandang, kita pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin sabar, ingin baik dan sebagainya lagi! Dengan pengamatan ini, dengan kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka kita akan awas, dan sadar, kita akan melihat bahwa kemarahan dan kita tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin melarikan diri dari kemarahan yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita hadapi saja, amati saja, pandang saja, dan akan terjadilah sesuatu yang luar biasa, yang tak dapat diteorikan, hanya dapat dihayati, dilakukan pada saat semua itu timbul!

|

Monday, June 14, 2004

Bentuk-bentuk Pikiran 

Segala keadaan kita adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan didasarkan atas pilihan kita dan dibentuk oleh pikiran kita

Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran jahat, penderitaan akan mengikutinya, seperti roda gerobak mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya.

Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran murni kebahagiaan akan mengikutinya, seperti bayang-bayang yang tak pernah meninggalkannya

Dia mencaci maki saya, memukul saya, mengalahkan saya, merampok saya, yang menyimpan pikiran ini, kebencian takkan berakhir, yang tidak menyimpan pikiran ini, dendam kebencian akan berakhir.

Karena kebencian tak dapat dipadamkan oleh kebencian, kebencian hanya musnah oleh cinta kasih inilah suatu aturan yang abadi...”


|

Nafsu dan Kebencian 

“Tiada yang lebih panas daripada nafsu tiada yang lebih ganas daripada kebencian
tiada yang lebih menjerat daripada kebodohan tiada yang lebih menghanyutkan daripada keserakahan,

Kesalahan orang lain mudah nampak kesalahan diri sendiri sukar terlihat orang menyaring kesalahan orang lain seperti menampi dedak

namun kesalahannya sendiri disembunyikannya seperti penipu menyembunyikan dadu lemparannya terhadap penjudi lainnya.”


|

Friday, June 11, 2004

Lingkaran Kehidupan 

Kematian merupakan suatu peristiwa yang nyata, suatu fakta yang tak dapat dirubah oleh siapapun, suatu hal yang akan menimpa setiap manusia di dunia ini. Oleh karena peristiwa kematian akan menimpa semua orang, tak peduli dia itu kaisar maupun pengemis, tak peduli dia itu pendeta maupun penjahat, maka kita semua tahu bahwa kematian merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, mengapa dalam setiap peristiwa kematian selalu menimbulkan duka?

Duka itu timbul dari perpisahan, dan setiap perpisahan terasa menyakitkan bilamana di situ terdapat ikatan batin. Ikatan ini tercipta oleh kesenangan atau sesuatu yang kita anggap menyenangkan, yang enak, sehingga kita tidak ingin terlepas lagi dari yang menyenangkan itu, seperti juga kita tidak ingin dekat dengan yang tidak menyenangkan. Dan sekali waktu yang menyenangkan itu direnggut dari kita, seperti peristiwa kematian, maka kita akan merasa nyeri. Yang menyenangkan itu telah berakar di dalam hati, maka apabila direnggut oleh kematian, hati kita akan terobek dan menjadi perih. Sebagian besar daripada ratap tangis yang ditumpahkan orang dalam peristiwa kematian, adalah ratap tangis karena iba diri, karena perasaan duka ditinggalkan orang yang mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Di mulut kita mengatakan kasihan kepada si mati, namun sesungguhnya di lubuk hati, yang ada hanya rasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggalkan, yang kehilangan sesuatu atau rasa senang di hati. Itulah sebabnya mengapa di dalam setiap peristiwa kematian timbul duka cita dan ratap tangis, bukan untuk si mati melainkan karena rasa iba diri dari yang hidup.

Kematian terjadi setiap saat, menimpa siapapun juga. Bahaya yang dapat menimbulkan kematian berada di sekeliling kita dan setiap saat dapat merenggut nyawa kita, melalui kuman-kuman penyakit, melalui kecelakaan, kekerasan dan sebagainya. Mati hanyalah rangkaian dari hidup seperti juga hidup merupakan rangkaian dari mati. Tidak ada kehidupan tanpa ada kematian dan tidak akan ada kematian tanpa kehidupan. Mati yang terjadi sebagai rangkalan dari hidup adalah suatu proses yang wajar, suatu peristiwa yang sudah semestinya seperti tenggelamnya matahari di senja hari untuk muncul kembali di pagi hari berikutnya. Akan tetapi, kebanyakan dari kita me­rasa takut akan kematian! Kematian terasa sedemikian mengerikan, menakut­kan, penuh rahasia. Mengapa kita merasa ngeri dan takut menghadapi kematian yang pada suatu saat sudah pasti akan datang kepada kita itu?

Karena kita tidak mengenalnya! Karena kita tidak tahu apa akan jadinya dengan kita! Karena kita terikat kuat-kuat kepada segala yang menyenangkan dan yang enak-enak di dunia kehidupan ini. Karena kita tidak rela berpisah dari segala yang menyenangkan itu dan kita enggan memasuki sesuatu yang belum kita ketahui benar apakah akan men­datangkan nikmat atau derita.

Kematian adalah terputusnya semua ikatan kita dengan kehidupan di dunia. Semakin erat kita terikat secara batinlah kepada hal-hal dan benda-benda yang ada dalam kehidupan kita, semakin takut dan ngerilah kita menghadapi perpisahan dengan semua itu. Bukan kematian yang menakutkan, melainkan perpisahan dengan segalanya itulah! Dengan keluarga yang tercinta, dengan harta benda, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dan dengan segala hal yang dianggap menyenangkan dalam hidup. Untuk menginggalkan semua itu, untuk berpisah dengan semua itu! Inilah yang membuat kita merasa tidak rela dan berat, dan timbullah kengerian dan ketakutan.

Tidak dapatkah kita “mati” selagi hidup ini? Dalam arti kata, mati atau bebas dari segala ikatan batin ini? Ke­bebasan dari semua ikatan batin akan membebaskan kita dari rasa takut itu pula terhadap perpisahan yang berupa kematian dan yang tak mungkin dielakkan itu. Bukan berarti lalu kita menjadi tidak peduli atau tidak acuh kepada keluarga, pekerjaan dan sebagainya selagi hidup. Sama sekali bukan! Melainkan bebas dari ikatan batiniah yang selalu berupa kesenangan itulah. Kesenangan dan keinginan untuk selalu menikmati kesenangan dari apa yang kita miliki itulah yang mengikat.

Tanpa kebebasan dari rasa takut akan kematian ini, kita akan selalu mencari-cari cara atau jalan agar sesudah mati kitapun akan senang dan enak! Kita akan mencari segala daya upaya untuk mendatangkan rasa terhibur, rasa terjamin bahwa sesudah mati kita akan tetap menikmati kesenangan. Jadi kita akan terjerumus semakin dalam lagi ke dalam lingkaran dari pengejaran kesenangan, kita akan terikat semakin kuat. Mengejar enak dan senang selama hidup, bahkan sampai kelak sesudah mati di “sana”!


|

Wednesday, June 09, 2004

Pelarian dari duka 

PELARIAN dari duka merupakan hal sia-sia belaka. Hiburan-hiburan untuk menutupi duka juga merupakan pelarian. Dengan demikian, mungkin duka akan tidak terasa, akan tetapi hal itu hanya berlangsung sejenak saja, seperti api dalam sekam. Api duka itu masih belum padam, hanya tertutup dan masih membara di sebelah dalam. Sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Kalau hiburan itu sudah mereda, maka duka akan muncul lagi sehingga kita terpaksa sibuk mencari-cari hiburan yang lain lagi. Mengapa kita harus lari dari kenyataan? Kalau timbul duka atau takut atau kesengsaraan yang lain lagi, mari kita hadapi dengan penuh kewaspadaan! Mengamati diri sendiri lahir batin setiap saat dengan penuh kewaspadaan berarti mempelajeri segala sesuatu tentang kehidupan manusia di dunia ini!

|

Sebuah perenungan tentang pikiran 

Hidup ini seakan-akan penuh dengan derita, kesengsaraan, duka, sesal, takut, khawatir dan lain sebagainya lagi. Setiap orang manusia memiliki penderitaannya masing-masing sehingga seolah-olah hidup ini isinya hanya keluh-kesah belaka. Dari manakah datangnya semua kesengsaraan ini dan bagaimana terjadinya? Kalau kita mau membuka mata mengamati diri kita sendiri, maka akan nampaklah dengan nyata bahwa semua penderitaan itu bukanlah menimpa kita dari langit begitu saja! Penderitaan bukan datang dari la­ngit, melainkan merupakan kembang dan buah daripada pohon yang kita tanam sendiri, merupakan akibat daripada sebab perbuatan kita sendiri. Tanpa pengamatan kepada diri sendiri setiap saat, kita biasa­nya akan mencari kambing hitam dan melontarkan sebab-sebabnya keluar diri kita.

Duka timbul dari iba diri. Merupakan permainan pikiran yang mengingat-ingat dan menilai-nilai. Kalau setiap kali duka timbul lalu kita menghadapinya dengan pengamatan penuh kewaspadaan, penuh kesadaran dan perhatian, maka akan nampaklah bahwa pikiran kita sendiri yang bermain-main, pikiran kita sendiri yang meremas-remas perasaan kita sendiri. Duka takkan ada kalau pikiran kita tidak mengingat-ingat dan membanding-bandingkan, kalau pikiran kita tidak me­nimbulkan iba diri. Bukan berarti bahwa kita harus “menyerah kepada nasib” ka­rena hal ini akan menimbulkan frustrasi atau ketidakpuasan atau kekecewaan yang membuat kita menjadi picik, bodoh dan hilang semangat. Sama sekali bukan! Melainkan, kita waspada menghadapi dan mengamati apa yang disebut duka, takut, sesal, khawatir, yang menyiksa itu, kita pelajari, kita selami dan kita amati tanpa ada keinginan untuk melenyapkan­nya, karena keinginan ini timbul dari pikiran pula yang ingin senang dan kare­nanya maka pengamatan dan penyelidikan kita pun akan terhenti begitu saja dan duka itu takkan lenyap.


|

Monday, June 07, 2004

Pengejaran Cita-cita 

Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang, jauh lebih indah daripada apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi pendapat umum yang me­nyesatkan bahwa kita manusia hidup HARUS bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta, dan tidak akan maju! Benarkah demikian? Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya kalau kita hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu?

Cita-cita adalah bayangan akan se­suatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan lebih baik, lebih me­nyenangkan daripada keadaan yang ada sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih menyenangkan. Bukankah demikian? Jadi, cita-cita ada­lah pengejaran, atau keinginan akan se­suatu yang dianggap akan lebih menye­nangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya sekarang, ber­arti dia ini mengejar-ngejar harta kekaya­an yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi daripada se­karang, tentu saja cita-cita itu muncul karena dianggap bahwa hal itu akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah ke­kayaan dan kedudukan itu pasti men­datangkan kesenangan?

Memang, mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan kebahagia­an! Dan seperti dapat dilihat dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang ma­sih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanyalah merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan sekemilau seperti yang dikejarnya. Se­telah yang dikejarnya itu terdapat, maka apa yang didapat itu hanya mendatang­kan kesenangan sepintas saja, lalu mem­bosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan, kepada yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan. Dan pengejaran atau pe­nyakit ini membuat kita tidak pernah dapat merasakan keindahan saat ini, ti­dak pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah dari cita-cita atau ambi­si itu saja.

|

Baik buruknya siang dan malam 

PAGI yang amat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan murah hati, juga amat indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan datang membawa keriangan dan kesegaran kepada semua yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan cahayanya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala sesuatu yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran tenggelam dalam kegelapan malam, mendatangkan kembali semangat hidup pada tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang kecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di udara maupun yang berjalan dan merayap di atas bumi.

Matahari pagi yang demikian indahnya, cahaya keemasan yang menerobos di antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit, embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung gembira, semua itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kegelapan den kesunyian dan ke­seraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi, melainkan hanya sementara saja. Demiki­an pula sebaliknya, kecerahan dan ke­riangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam yang membawa kegelapan.

Baik buruknya siang dan malam tim­bul dari penilaian kita. Kalau kita sudah menilai bahwa yang siang itu baik dan yang malam buruk, maka kita akan terseret ke dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan susah. Sebaliknya, kalau kita menghadapi siang dan malam, atau se­gala sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa penilaian, maka tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan tidak mungkin bahwa kita akan menemukan keindahan dalam kegelapan den kesunyian malam itu!

Pagi hari yang amat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada semua mahluk, kecuali manusia! Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul karena terlalu menonjolkan keakuannya. Manusia terlalu mudah mengeluh, juga terlampau mudah mabuk. Di waktu menghadapi peristiwa yang tidak me­nyenangkan, manusia mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara di dunia ini, dan di waktu menikmati pe­ristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi mabuk den lupa diri!


|

Perangkap Tikus 

Seekor tikus mengintip di balik celah di tembok untuk mengamati sang petani
dan isterinya membuka sebuah bungkusan. Ada makanan pikirnya? Dia terkejut
sekali, ternyata bungkusan itu berisi perangkap tikus. Lari kembali ke
ladang pertanian itu, tikus itu menjerit memberi peringatan; "Awas, ada
perangkap tikus di dalam rumah, hati-hati, ada perangkap tikus di dalam
rumah!"

Sang ayam dengan tenang berkokok dan sambil tetap menggaruk tanah,
mengangkat kepalanya dan berkata, "Ya maafkan aku, Pak Tikus, aku tahu ini
memang masalah besar bagi kamu, tapi buat aku secara pribadi tak ada
masalahnya. Jadi jangan buat aku peninglah."

Tikus berbalik dan pergi menuju sang kambing, katanya, "Ada perangkap tikus
di dalam rumah, sebuah perangkap tikus di rumah!"
"Wah, aku menyesal dengar khabar ini," si kambing menghibur dengan penuh
simpati, "tetapi tak ada sesuatupun yang bisa kulakukan kecuali berdoa.
Yakinlah, kamu sentiasa ada dalam doa doaku!"

Tikus kemudian berbelok menuju si lembu.
" Oh? sebuah perangkap tikus, jadi saya dalam bahaya besar ya?" kata lembu
itu sambil ketawa.

Jadi tikus itu kembalilah ke rumah, kepala tertunduk dan merasa begitu
patah hati, kesal dan sedih, terpaksa menghadapi perangkap tikus itu sendirian.

Malam itu juga terdengar suara bergema diseluruh rumah, seperti bunyi
perangkap tikus yang berjaya menangkap mangsanya. Isteri petani berlari
pergi melihat apa yang terperangkap. Di dalam kegelapan itu dia tak bisa
melihat bahwa yang terjebak itu adalah seekor ular berbisa. Ular itu sempat
mematuk tangan isteri petani itu. Petani itu bergegas membawanya ke rumah
sakit.

Dia kembali ke rumah dengan demam. Sudah menjadi kebiasaan setiap orang
akan memberikan orang yg sakit demam panas minum sup ayam segar, jadi
petani itu pun mengambil goloknya dan pergilah dia ke belakang mencari bahan-bahan
untuk supnya itu.

Penyakit isterinya berkelanjutan sehingga teman-teman dan tetangganya
datang menjenguk, dari jam ke jam selalu ada saja para tamu. Petani itupun
menyembelih kambingnya untuk memberi makan para tamu itu.

Isteri petani itu tak kunjung sembuh. Dia mati, jadi makin banyak lagi
orang-orang yang datang untuk pemakamannya sehingga petani itu terpaksalah
menyembelih lembunya agar dapat memberi makan para pelayat itu.

Moral kisah ini:
Apabila kamu dengar ada seseorang yang menghadapi masalah dan kamu pikir
itu tidak ada kaitannya dengan kamu, ingatlah bahwa apabila ada 'perangkap
tikus' di dalam rumah, seluruh 'ladang pertanian' ikut menanggung
risikonya.

Sikap mementingkan diri sendiri lebih banyak keburukan dari baiknya.

|

Saturday, June 05, 2004

Jokes 

Seorang penjual minyak goreng keliling seperti biasa menjajakan dagangannya
di tepian Sungai Citarum. "Nyak nyak minyaaaaaaaaaaaaak", teriaknya.

Di jalanan menurun tiba-tiba gerobaknya yang penuh dengan botol minyak
tergelincir dan nyemplung ke Sungai Citarum. Plung ... lap ... tenggelam deh
ceritanya.

Huuuuu, huuuu, menangislah dia. "Harus kuberi makan apa istriku nanti, huuu..."

Tiba-tiba seorang Malaikat yang baik hati muncul dan bertanya: "Hai, BAJURI kenapa
gerangankah sehingga engkau menangis begitu?"

Ternyata, namanya BAJURI. Tahu juga ya itu Malaikat.

"Oh, Malaikat, gerobak minyak goreng saya tergelincir ke sungai."

"Baiklah, aku akan ambilkan untukmu."

Tiba-tiba Malaikat itu menghilang dan muncul lagi dengan sebua h kereta
kencana dari emas, penuh dengan botol dari intan.

"Inikah punyamu?" tanya Malaikat.

"Bukan, gerobakku tidak sebagus itu. Mana mungkin penghasilan saya
yang 6 juta sebulan bisa beli kereta kencana? Itu pun sudah ditambah komisi
penjualan yang cuma sedikit."

Malaikat itu pun menghilang lagi dan muncul dengan sebuah kereta perak
dengan botol dari perunggu.

"Inikah punyamu?" tanyanya lagi.

"Bukan, hai Malaikat yang baik, punyaku cuma dari besi biasa dan botolnya
juga botol biasa."

Lalu Malaikat itu pergi lagi dan kali ini kembali dengan gerobak dan
botol Si BAJURI.

"Inikah punyamu?"

"Alhamdulillah ... benar Malaikat. Terima kasih sekali engkau telah
mengambilkannya untukku".

Malaikat berkata", Engkau jujur sekali, ya BAJURI.
Untuk itu sebagai hadiah, aku berik an semua kereta dan botol tadi untukmu."

"??? Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, terima kasih ya Malaikat."

Sebulan kemudian, BAJURI rafting bersama istrinya di sungai yang sama.

Naas tak dapat ditolak, malang tak bisa dihindari. Perahu karetnya
terbalik dan istrinya hanyut.

"Huuuuuuuuuuuuuuuuuu.... huuuuuuuuuuu .......istriku, di mana engkau?" isaknya.

Tiba-tiba Malaikat pun muncul lagi. "Kenapa lagi engkau, BAJURI?"

"Istri saya hanyut dan tenggelam di sungai, hai Malaikat ..."

"Ohhh, tenang, aku ambilkan."

Plash ... Malaikat itu menghilang dan tiba-tiba muncul kembali sambil
membawa Nafa Urbach, yang ada tato mawar di perutnya.

"Inikah istrimu?" tanya Malaikat.

"Betul, Malaikat, dialah istriku."

"Haaaaaa .... BAJURI!" Malaikat membentak marah. "Sejak kapan kamu berani
&g t; bohong? Di manakah kejujuran kamu sekarang?"

Sambil bergetar dan berjongkok, BAJURI berkata: "Ya, Malaikat, kalau aku jujur,
nanti engkau menghilang lagi dan membawa Bella Saphira. Klau kubilang lagi bukan,
maka engkau akan menghilang lagi dan membawa lagi istriku yang sebenarnya

Lalu engkau akan bilang bahwa aku jujur sekali dan engkau akan memberikan ketiga-tiganya
kepadaku.

Buat membiayai hidup Nafa saja aku bingung gimana caranya, apalagi tiga-tiganya?"

Malaikat pun termangu dan bengong. "Benar juga kamu, kamu realistis."


|

LEARN TO WRITE YOUR HURTS IN THE SAND  

A story tells that two friends were walking
through the desert. During some
point of the journey they had an argument, and
one friend slapped the other one in the face.

The one who got slapped was hurt,
but without saying anything, wrote in the sand:

TODAY MY BEST FRIEND
SLAPPED ME IN THE FACE.

They kept on walking until they found an oasis,
where they decided to take a bath. The one who
had been slapped got stuck in the mire and
started drowning, but the friend saved him.
After he recovered from the near
drowning, he wrote on a stone:

TODAY MY BEST FRIEND SAVED MY LIFE.

The friend who had slapped and
saved his best friend asked him,
"After I hurt you, you wrote in the
sand and now, you write on a stone,
why?" The other friend replied "When someone
hurts us we should write it down in sand where winds
of forgiveness can erase it away. But, when someone
does something good for us, we must engrave
it in stone where no wind can ever erase it."

LEARN TO WRITE YOUR HURTS IN THE SAND
AND TO CARVE YOUR BENEFITS IN STONE.

They say it takes a minute to find a special person,
an hour to appreciate them,
a day to love them,
but then an entire life to forget them.

Do not value the THINGS you have in your life..
But value WHO you have in your life!


|

This page is powered by Blogger. Isn't yours?