<$BlogRSDUrl$>

Monday, February 14, 2005

Kebahagiaan 

Sesungguhnya, kalau kita mau melihat kenyataan, timbul sebuah pertanyaan. Dapatkah kebahagiaan dikejar dan dicari? Sebelum menjawab ini, sebaiknya diselidiki lebih dahulu apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan BAHAGIA itu? Apakah kebabagiaan itu kepuasan hati karena tercapainya sesuatu yang diinginkan? Kalau begini, bahagia itu terbatas sekali dan hanya berumur beberapa lama saja karena kepuasan inipun hanya sementara, dan segera berobah dengan kebosan-an. Apakah bahagia itu kesenangan? Juga tidak, karena kesenangan hanyalah pemuasan nafsu belaka, rasa nyaman dan enak bagi badan kita dan pikiran, dan kese-nangan inipun hanya sementara saja, a-mat pendek umurnya, dan kesenangan biasanya diseling kebosanan dan bahkan mempunyai saudara kembar, yaitu kesu-sahan, seperti tawa dan tangis yang da-tang silih berganti seperti datangnya mu-sim. Kalau semua itu bukan, lalu apakah yang dimaksudkan dengan kebahagiaan?

Bagaimana kita dapat menggambarkan kebahagiaan kalau kita sendiri selalu berada dalam permainan susah dan senang, kalau kita selalu diombang-ambingkan gelombang nafsu? Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mati, bukan sesuatu yang sudah pasti sehingga mudah dicari dan dicapai. Kalau kita menghentikan segala kesibukan pikiran kita yang mengejar-ngejar kesenangan, mengejar-ngejar kebaha-giaan itu sendiri, kalau kita sudah tidak terseret lagi ke dalam tarikan-tarikan susah dan senang yang bertentangan, ka-lau sudah tidak ada lagi konflik atau pertentangan dalam batin antara kenyataan yang ada dan gambaran yang kita ingin-kan, kalau KITA SUDAH TIDAK MENGE-JAR APA-APA, tidak menginginkan apa-apa yang berada di luar jangkauan kita, nah, mungkin sekali kita akan dapat me-rasakan dan mengerti apa artinya baha-gia itu.

Jelaslah bahwa yang dapat dikejar dan dicari hanyalah kesenangan dan kepuasan sementara dari dorongan keinginan kita untuk mendapatkan kesenangan itu. De-ngan demikian, kebahagiaan itu tidak mungkin dapat dicari, tidak mungkin bisa didapatkan melalui pengejaran.
Kita selalu condong untuk mengejar. Karena mengira bahwa kebahagiaan ber-ada di luar diri, kita mengejar keluar, kita merobah-robah yang berada di luar. Maka terjadilah pergolakan-pergolakan, terjadilah revolusi-revolusi, terjadilah pe-rang. Kita selalu condong untuk membuat keindahan di luar diri. Kita lupa bahwa sesungguhnya, yang indah itu berada di dalam, yang indah itu timbul dari dalam, dan bahagia itu adalah urusan batin, urusan di dalam diri kita sendiri. Tinggal di dalam sebuah gedung memang senang a-kan tetapi belum tentu bahagia, sebalik-nya tinggal di dalam gubuk mungkin saja merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan ti-dak berada di dalam gedung indah, tidak berada dalam makanan lezat, tidak ber-ada dalam kedudukan tinggi atau di an-tara tumpukan emas.
Kalau batin sudah tidak mengejar-ngejar, tidak mencari-cari apa yang berada di luar jangkauan kita, maka batin itu a-kan menjadi tenteram dan kita dapat menerima segala sesuatu sebagai hal yang wajar, tanpa mengeluh sedikitpun juga, bahkan dengan senyum tulus ikhlas kare-na kewaspadaan membuat kita mengerti bahwa segala itu merupakan suatu kenya-taan dan kenyataan itu mengandung ke-indahan. Segala sesuatu di dunia ini me-ngandung keindahan bagi batin yang tidak mencari apa-apa. Baik hujan, maupun pa-nas, dihadapi dengan senyum dan dipandang sebagai suatu keindahan, tanpa keluhan karena tidak ada yang perlu dikeluhkan, karena tidak ada penyesalan dalam batin, karena tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan yang dicari, karena memang tidak ada yang dicari-cari! Dalam keadaan inilah kita mungkin sekali akan merasakan dan mengerti apa sesungguhnya hakekat kebahagiaan itu.

Tidak mencari kesenangan ini sama sekali bukan berarti bahwa kita menolak kesenangan! Orang-orang yang menolak kesenangan, mengasingkan diri di puncak bukit, mengharamkan segala hal yang mendatangkan rasa enak dan nikmat, sesungguhnya adalah orang-orang yang MENCARI KESENANGAN, dalam bentuk lain! Memang, dalam mencari kesenangan, orang seringkali lupa diri, dan bahkan mau bersusah payah menyiksa diri, dalam mengejar kesenangan yang dinamakan cita-cita. Dan andaikata yang dikejar dengan cara menyiksa diri itu tercapai, maka yang didapatkannya itupun hanyalah suatu bentuk kepuasan, suatu bentuk kesenangan perasaan belaka yang ekornya dapat berupa kekecewaan dan kebosanan pula. Perasaan enak, nyaman, nikmat yang dinamakan kesenangan adalah suatu anugerah hidup. Tubuh dan perasaan kita dibekali alat-alat penangkap rasa senang ini, dan kita berhak menikmati kesenangan dalam hidup ini. Kesenangan adalah berkah dan sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah PENGEJARAN itulah, PENCARIAN itulah, karena dalam mengejar inilah timbulnya segala macam perbuatan yang merugikan orang lain, yang pada umumnya disebut jahat. Pengejaran kesenangan yang berbentuk kedudukan dan kemuliaan, menimbulkan perang dan permusuhan, bunuh-bunuhan antara manusia. Pengejaran kesenangan dalam bentuk harta benda menimbulkan perbuatan-perbuatan curang, korupsi, penipuan, perampokan, pencurian dan sebagainya. Pengejaran terhadap kesenangan dalam bentuk nafsu berahi menimbulkan perkosaan, pclacuran, dan sebagainya dan segala macam perbuatan yang pada umumnya merugikan dan dianggap jahat, kalau ditelusur, sudah pasti dasarnya adalah pengejaran kesenangan itu.

Akan tetapi, orang yang tidak menge-jar kesenangan, menganggap segala hal yang terjadi merupakan suatu kewajaran dan di dalam kewajaran ini, di mana ti-dak terdapat keluhan, tidak terdapat kekecewaan karena tidak ada pengejaran, terkandunglah kesenangan yang lain lagi! Kenikmatan karena memang cita rasa menganggapnya enak, bukan kenikmatan karena tercapainya suatu pengejaran. Bagi orang yang tidak mengejar, memper-oleh minuman apapun akan terasa nikmat, baik itu berupa air jernih belaka maupun minuman yang mahal harganya. Kenik-matan terdapat pula di dalam nasi sam-bal maupun dalam nasi beserta masakan yang mahal bagi mereka yang tidak me-ngejar.

Bukan berarti pula bahwa orang yang tidak mengejar kesenangan lalu menjadi lumpuh semangat dan duduk menganggur! Sama sekali tidak demikian! Akan tetapi, orang bahagia seperti ini, kalau bekerja, bukan bermaksud mengejar uang, melainkan melakukan suatu pekerjaan yang ber-manfaat dan yang sesuai dengan minat-nya sehingga di dalam pekerjaan itu sen-diri dia sudah mengecap kenikmatan! U-ang sebagai upah atau hasil pekerjaannya hanya merupakan akibat saja dalam du-nia yang kesemuanya sudah diukur de-ngan uang ini. Akan tetapi uang bukan menjadi tujuan utama untuk dikejar me-lalui pekerjaan. Kalau pekerjaan itu dila-kukan sebagai cara untuk mencari uang, maka akan timbul hal-hal yang buruk dan curang, pekerjaan itu mungkin menjadi kotor, pegawai berkorupsi, pedagang me-nipu dan memalsu, manipulasi, penyelun-dupan, dan sebagainya lagi keburukan yang terdapat dalam pekerjaan dan perdagang-an.
Sejak ribuan tahun yang lalu, para cerdik pandai, para cendekiawan, para budiman sudah berusaha mati-matian un-tuk mencari cara yang baik agar manusia dapat hidup benar dan besar. Berbagai macam cara hidup telah diciptakan ma-nusia dengan berbagai paham (isme), ber-bagai garis hidup telah dipaksakan kepada manusia. Akan tetapi, kalau kita sekarang menengok keadaan di seluruh dunia, semua cara itu ternyata tidak menolong, tidak dapat membebaskan manusia daripada kesengsaraan, daripada kemurkaan, ketamakan, ketakutan, kebencian dan permusuhan. Ternyata segala macam kedudukan tinggi, kehidupan mewah, ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi, tidak mampu memperbaiki kehidupan batin manusia, tidak mampu mengusir kesengsaraan manusia, tidak mampu mendatangkan KEBAHAGIAAN dalam batin manusia. Tidak ada paham (isme) apapun, tidak ada cara apapun, yang akan dapat merobah batin manusia kecuali dirinya sendiri. Dan perubahan itu baru bisa terjadi kalau kita mau mengenal diri sendiri, mengamati diri sendiri dan lika-liku kehidupan kita setiap hari dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Pengamatan yang mendalam setiap saat akan membuka mata kita bahwa kita sendirilah sumber segala derita, kita sendirilah pencipta kesengsaraan, kita sendiri yang menjauhkan diri dari kebahagiaan, menjauhkan diri dari Tuhan! Tuhan dengan segala berkahNya berlimpahan tidak pernah sedetikpun menjauhi kita. Adalah kita yang setiap saat, demi pengejaran kesenangan, menjauhi Tuhan dan setelah akibat pengejaran itu menjerumuskan kita ke dalam lembah kesengsaraan, kita berteriak-teriak mengeluh kenapa Tuhan meninggalkan kita!
Orang bahagia akan selalu menerima segala hal yang terjadi sebagai suatu kenyataan hidup tanpa menilai hal itu sebagai baik atau buruk. Tidak mengeluh, tidak menyalahkan siapapun, melainkan membuka mata dengan waspada akan gerak-gerik “monyet putih” yang bercokol di dalam pikiran kita.

|

This page is powered by Blogger. Isn't yours?