<$BlogRSDUrl$>

Monday, August 16, 2004

Kepuasan 

Hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan kepuasan, selalu mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau berhasil, memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya kepuasan? Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja. Pengejaran akan sesuatu, baik “sesuatu” itu merupakan benda ataupun gagasan, sudah pasti disebabkan karena si pengejar, yaitu si aku atau pikiran yang membayangkan, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada sesuatu yang dikejar-kejar itu.
Kepuasan adalah terpenuhinya keinginan itu, lalu dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Namun, seperti juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sejenak saja, demikianpun kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran sesuatu yang lain lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih berbobot dan sebagainya. Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik. Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah tertarik oleh sesuatu yang ke dua.

Dan kitapun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya selama kita masih hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang berada di tangan takkan pernah dapat dinikmatinya dan yang dianggap indah, menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang belum terjangkau. Dan semua ini disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-cita! Ada pula yang menamakan kemajuan.
Padahal, keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena tidak pernah mengamati yang “ini”, selalu mencari-cari dan memandang kepada yang “itu”, maka hanya yang begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak lagi. Kita sudah demikian mabuk oleh cita-cita, oleh angan-angan kosong, oleh gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, sehingga kehidupan kita tidak pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada dan dengan demikian kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang sudah ada.
Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di kebun orang lain nampak lebih nikmat daripada buah mangga di kebun sendiri, bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum daripada bunga mawar di kebun sendiri. Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa membentuk gambaran gagasan khayal, sehingga tidak timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada ini, dalam keadaan bagaimanapun juga?
Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL kalau kita membandingkan keadaan kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara, dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang ada ini?

|

This page is powered by Blogger. Isn't yours?